Ponselku bergetar
berkali-kali, seperti biasa jika satu orang memulai pembicaraan di grup
Whatsapp kelas, yang lainnya akan menyambar. Kadang-kadang memang sedikit
terganggu dengan beberapa percakapan yang tak penting, tapi tak apalah. Kali
ini ternyata berita duka datang dari adik angkatan, ayahandanya berpulang.
Innalillahi wainnailaihi rojiun... Kemudian aku terbawa kembali ke beberapa
bulan silam, pagi itu aku sedang mengecek beberapa akun media sosial yang aku
punya. Sedikit tak percaya ketika membaca satu status yang ditulis oleh
sahabatku di SMA, pesan tersirat bahwa ibundanya telah tiada. Mungkin itu hanya
dugaanku, maka dengan sigap kuhubungi semua teman SMA ku untuk menanyakan kabar
tersebut. Ternyata tak ada satupun yang tau tentang kebenarannya. Aku segera
menuju kamar sahabat SMA ku yang saat ini pun tinggal di satu kos denganku,
mencoba membangunkannya dan kembali menanyakan kebenaran akan berita itu, dia
terkejut dan tentu saja tidak percaya. Kemudian kami memutuskan untuk
menghubunginya langsung, terdengar isak tangis di seberang sana. Jelas tak
perlu lagi ada pertanyaan.
Tak bisa kutahan
lagi tangisku waktu itu, aku memutuskan untuk tidak bicara dengannya melalui
telepon. Karena rasanya percuma,aku tak akan bisa mengeluarkan sepatah katapun.
Beberapa waktu yang lalu sebelum kejadian itu, aku masih ingat melihat beliau
terbaring di rumah sakit, aku hampir tak mengenalinya. Padahal terakhir kali
aku bertemu dengannya sebelum hari itu, kami masih bercanda ria dengan
sahabat-sahabatku yang lain. Kemudian aku lupa, itu sudah sekitar 2 tahun yang
lalu.
Hari itu juga dua
sahabatku memutuskan untuk pulang dan menemui sahabatku yang satu itu. Satu
penyesalan yang tidak akan bisa terbayar, aku tidak ikut mereka waktu itu. Aku
harus tetap di sini karena urusan yang lain. Tapi penyesalan itu pun tak
henti-hentinya membayangiku,menambah durasi lamunanku. Aku jelas tak ada di
sana ketika sahabatku membutuhkan perhatian dari sahabat-sahabatnya. Dan aku
sangat menyesal. Aku ingat bagaimana sahabatku yang manja ini bertingkah,
sampai-sampai aku harus membuatnya menangis, tak sengaja sebenarnya tapi
ternyata ucapanku waktu itu mampu menembus ke dalam hatinya, ah,,, maafkan aku
sobat. Tapi aku yakin dia akan tumbuh menjadi gadis yang kuat dan mandiri
sekarang.
Kemudian ingatanku
kembali dilayangkan ke suatu momen. Bulan Ramadahan tahun lalu ketika acara
buka bersama teman-teman SMA, kabar duka lagi-lagi harus kudengar. Ibunda dari
sahabatku yang lain di SMA juga telah berpulang. Aku ingat bagaimana dulu aku
sering main ke rumahnya dan tentu saja bertemu dengan ibundanya, ah, waktu
berlalu begitu cepat.
Hari ini seperti
biasa, mamah mengirim sms secara rutin hanya untuk menanyakan kabar. Kemudian
terselip,
"Bapa lagi
pulang de, emang nggak pengen ketemu bapa?"
Sebuah tamparan
lembut dari mamah karena sudah dua minggu aku tak pulang ke rumah, padahal
jarak dari tempat kosku ke rumah tak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu 3
jam jika menggunakan Commuter Line.
Sudah lebih dari
sebulan Bapak mencari nafkah hingga ke pulau orang. Kadang-kadang beliau harus
ke Batam atau Bangka dalam waktu yang lama dengan urusan pekerjaannya sedangkan
waktu untuk berkumpul dengan keluarga sangat sedikit hingga akhirnya harus berangkat
lagi. Aku tau rasanya jauh dari keluarga, terlebih dalam waktu yang cukup lama,
kadang beliau bilang tangannya sakit karena harus mencuci bajunya sendiri,
perutnya lapar karena harus tinggal di pulau terpencil, atau tubuhnya lelah
karena harus melaut setiap hari.
Di usia beliau yang
sudah tua seperti ini pun Bapak masih harus melakukan segala sesuatunya
sendiri. Bukan baru-baru ini Bapak sering ke luar kota. Mungkin itu alasan
kenapa aku tak begitu dekat dengan beliau, bahkan waktu berdua pun akan menjadi
momen yang canggung bagiku. Terkadang Bapak mengantarku ke tempat kosku dengan
menggunakan motor. Percakapan pun tak banyak. Tak jarang aku menangis di balik
punggungnya. Sesampainyadi tempat kosku, Bapak memutuskan untuk langsung
pulang. Tak bisa kupungkiri aku iri dengan teman sekamarku yang kadang
mengobrol dengan bapaknya di telepon dalam waktu yang lama, atau pacarku yang
begitu dekat dengan papahnya.
Sejak aku kecil,
Bapak sering pergi meninggalkan keluarga untuk mencari uang. Hingga usiaku
menginjak 21 tahun, Bapak masih harus rela jauh dari keluarga. Bapak terlahir
bukan dari keluarga berlebihan, bahkan untuk makan pun terasa pas-pasan. Begitu
juga mamah yang harus putus sekolah karena ekonomi keluarganya. Kadang mamah
menceritakan ketika masa mudanya, sama seperti sinetron-sinetron jaman sekarang
yang selalu menunjukkan penderitaan orang-orang miskin yang tertindas. Hanya
saja ini nyata. Mamah sering bilang "cukup mamah yang merasakan, kalian
nggak boleh kayak mamah dulu."
Selama Bapak masih
ikut bekerja dengan orang lain, Bapak akan selalu jauh dari keluarganya.
Memenuhi kebutuhannya sendiri, hingga mengurusi dirinya sendiri. Dulu aku
menangis kalau dimarahi Bapak, tapi sekarang lain lagi, aku akan menangis jika
aku ingat bapak tak lagi segagah dulu, rambutnya yang mulai memutih, kerutan
yang mulai banyak terlihat di wajah tuanya. Umurnya sudah setengah abad
sekarang. Tapi semangatnya untuk keluarga tak pernah berubah.
Pah, aku takut
menjadi dewasa, aku takut harus bersikap dewasa ketika Allah mengambil kembali
apa yang menjadi milik-Nya
Tunggulah sebentar
saja pah, sampai aku mampu memberi modal untuk membuka bengkel sendiri hingga
Bapak tak perlu jauh dari keluarga,
Tunggulah sebentar
saja pah, sampai kau menjadi wali di salah satu hari yang paling membahagiakan
dalam hidupku dan sampai kau yakin bahwa kau telah melepaskan putrimu pada
orang yang tepat,
Tunggulah sebentar
saja pah, sampai kau tak lagi bekerja keras untuk anak-anakmu, sampai tugasmu
diabil alih oleh anak-anakmu,
Tunggulah sebentar
saja pah, sampai kau mampu menikmati hari tuamu di atas kursi yang empuk, rumah
yang nyaman, dan perasaan yang bangga dan bahagia,
Aku bukan seorang
anak yang pandai merangkai kata kemudian mengungkapkannya langsung di depanmu
pah, maka tunggulah sebentar saja hingga aku mampu melakukannya,
Aku pernah membaca
satu kalimat yang cukup menyentil, 'kita terlalu sibuk menjadi dewasa hingga
kita lupa bahwa orangtua kita semakin menua' dan itu memang benar, terkadang
kita terlalu sibuk dengan dunia kita sendiri hingga lupa bahwa waktu mampu
memakan usia, ketika itu pula aku ingin segera pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar