Rabu, 05 Maret 2014

'Dad, I Hope One Day I Grow Up and Love as Big as You'

Ponselku bergetar berkali-kali, seperti biasa jika satu orang memulai pembicaraan di grup Whatsapp kelas, yang lainnya akan menyambar. Kadang-kadang memang sedikit terganggu dengan beberapa percakapan yang tak penting, tapi tak apalah. Kali ini ternyata berita duka datang dari adik angkatan, ayahandanya berpulang. Innalillahi wainnailaihi rojiun... Kemudian aku terbawa kembali ke beberapa bulan silam, pagi itu aku sedang mengecek beberapa akun media sosial yang aku punya. Sedikit tak percaya ketika membaca satu status yang ditulis oleh sahabatku di SMA, pesan tersirat bahwa ibundanya telah tiada. Mungkin itu hanya dugaanku, maka dengan sigap kuhubungi semua teman SMA ku untuk menanyakan kabar tersebut. Ternyata tak ada satupun yang tau tentang kebenarannya. Aku segera menuju kamar sahabat SMA ku yang saat ini pun tinggal di satu kos denganku, mencoba membangunkannya dan kembali menanyakan kebenaran akan berita itu, dia terkejut dan tentu saja tidak percaya. Kemudian kami memutuskan untuk menghubunginya langsung, terdengar isak tangis di seberang sana. Jelas tak perlu lagi ada pertanyaan.

Tak bisa kutahan lagi tangisku waktu itu, aku memutuskan untuk tidak bicara dengannya melalui telepon. Karena rasanya percuma,aku tak akan bisa mengeluarkan sepatah katapun. Beberapa waktu yang lalu sebelum kejadian itu, aku masih ingat melihat beliau terbaring di rumah sakit, aku hampir tak mengenalinya. Padahal terakhir kali aku bertemu dengannya sebelum hari itu, kami masih bercanda ria dengan sahabat-sahabatku yang lain. Kemudian aku lupa, itu sudah sekitar 2 tahun yang lalu.

Hari itu juga dua sahabatku memutuskan untuk pulang dan menemui sahabatku yang satu itu. Satu penyesalan yang tidak akan bisa terbayar, aku tidak ikut mereka waktu itu. Aku harus tetap di sini karena urusan yang lain. Tapi penyesalan itu pun tak henti-hentinya membayangiku,menambah durasi lamunanku. Aku jelas tak ada di sana ketika sahabatku membutuhkan perhatian dari sahabat-sahabatnya. Dan aku sangat menyesal. Aku ingat bagaimana sahabatku yang manja ini bertingkah, sampai-sampai aku harus membuatnya menangis, tak sengaja sebenarnya tapi ternyata ucapanku waktu itu mampu menembus ke dalam hatinya, ah,,, maafkan aku sobat. Tapi aku yakin dia akan tumbuh menjadi gadis yang kuat dan mandiri sekarang.

Kemudian ingatanku kembali dilayangkan ke suatu momen. Bulan Ramadahan tahun lalu ketika acara buka bersama teman-teman SMA, kabar duka lagi-lagi harus kudengar. Ibunda dari sahabatku yang lain di SMA juga telah berpulang. Aku ingat bagaimana dulu aku sering main ke rumahnya dan tentu saja bertemu dengan ibundanya, ah, waktu berlalu begitu cepat.

Hari ini seperti biasa, mamah mengirim sms secara rutin hanya untuk menanyakan kabar. Kemudian terselip,
"Bapa lagi pulang de, emang nggak pengen ketemu bapa?"
Sebuah tamparan lembut dari mamah karena sudah dua minggu aku tak pulang ke rumah, padahal jarak dari tempat kosku ke rumah tak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu 3 jam jika menggunakan Commuter Line.

Sudah lebih dari sebulan Bapak mencari nafkah hingga ke pulau orang. Kadang-kadang beliau harus ke Batam atau Bangka dalam waktu yang lama dengan urusan pekerjaannya sedangkan waktu untuk berkumpul dengan keluarga sangat sedikit hingga akhirnya harus berangkat lagi. Aku tau rasanya jauh dari keluarga, terlebih dalam waktu yang cukup lama, kadang beliau bilang tangannya sakit karena harus mencuci bajunya sendiri, perutnya lapar karena harus tinggal di pulau terpencil, atau tubuhnya lelah karena harus melaut setiap hari.

Di usia beliau yang sudah tua seperti ini pun Bapak masih harus melakukan segala sesuatunya sendiri. Bukan baru-baru ini Bapak sering ke luar kota. Mungkin itu alasan kenapa aku tak begitu dekat dengan beliau, bahkan waktu berdua pun akan menjadi momen yang canggung bagiku. Terkadang Bapak mengantarku ke tempat kosku dengan menggunakan motor. Percakapan pun tak banyak. Tak jarang aku menangis di balik punggungnya. Sesampainyadi tempat kosku, Bapak memutuskan untuk langsung pulang. Tak bisa kupungkiri aku iri dengan teman sekamarku yang kadang mengobrol dengan bapaknya di telepon dalam waktu yang lama, atau pacarku yang begitu dekat dengan papahnya.

Sejak aku kecil, Bapak sering pergi meninggalkan keluarga untuk mencari uang. Hingga usiaku menginjak 21 tahun, Bapak masih harus rela jauh dari keluarga. Bapak terlahir bukan dari keluarga berlebihan, bahkan untuk makan pun terasa pas-pasan. Begitu juga mamah yang harus putus sekolah karena ekonomi keluarganya. Kadang mamah menceritakan ketika masa mudanya, sama seperti sinetron-sinetron jaman sekarang yang selalu menunjukkan penderitaan orang-orang miskin yang tertindas. Hanya saja ini nyata. Mamah sering bilang "cukup mamah yang merasakan, kalian nggak boleh kayak mamah dulu."

Selama Bapak masih ikut bekerja dengan orang lain, Bapak akan selalu jauh dari keluarganya. Memenuhi kebutuhannya sendiri, hingga mengurusi dirinya sendiri. Dulu aku menangis kalau dimarahi Bapak, tapi sekarang lain lagi, aku akan menangis jika aku ingat bapak tak lagi segagah dulu, rambutnya yang mulai memutih, kerutan yang mulai banyak terlihat di wajah tuanya. Umurnya sudah setengah abad sekarang. Tapi semangatnya untuk keluarga tak pernah berubah.

Pah, aku takut menjadi dewasa, aku takut harus bersikap dewasa ketika Allah mengambil kembali apa yang menjadi milik-Nya
Tunggulah sebentar saja pah, sampai aku mampu memberi modal untuk membuka bengkel sendiri hingga Bapak tak perlu jauh dari keluarga,
Tunggulah sebentar saja pah, sampai kau menjadi wali di salah satu hari yang paling membahagiakan dalam hidupku dan sampai kau yakin bahwa kau telah melepaskan putrimu pada orang yang tepat,
Tunggulah sebentar saja pah, sampai kau tak lagi bekerja keras untuk anak-anakmu, sampai tugasmu diabil alih oleh anak-anakmu,
Tunggulah sebentar saja pah, sampai kau mampu menikmati hari tuamu di atas kursi yang empuk, rumah yang nyaman, dan perasaan yang bangga dan bahagia,

Aku bukan seorang anak yang pandai merangkai kata kemudian mengungkapkannya langsung di depanmu pah, maka tunggulah sebentar saja hingga aku mampu melakukannya,

Aku pernah membaca satu kalimat yang cukup menyentil, 'kita terlalu sibuk menjadi dewasa hingga kita lupa bahwa orangtua kita semakin menua' dan itu memang benar, terkadang kita terlalu sibuk dengan dunia kita sendiri hingga lupa bahwa waktu mampu memakan usia, ketika itu pula aku ingin segera pulang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar