Semuanya
gelap sekarang. Lilin-lilin kecil yang menjadi lentera kini sudah padam, ya,
semuanya. Bahkan aku tidak tau lagi siapa dirimu. Kau ingat? Padahal kemarin
tawa itu masih ada. Secepat itu ia berubah menjadi air mata. Aku benar-benar
tidak tau apa yang kurasakan sekarang. Yang jelas aku masih merasa cukup bodoh.
Walaupun kau
bilang kata-kata itu keluar saat kau emosi karena tak ada jawaban lain yang
mampu menghentikan dia, aku tetap tidak terima. Itu sama saja kau merendahkanku
di hadapan orang lain.
Kau memang
sudah kenalkan aku pada mamahmu, mendatangi rumahku untuk menemui kedua orang
tuaku, atau mengajakku untuk bertemu paman bibimu, adik-adik dan kakakmu,
bahkan sepupumu. Tapi aku tak mau menjadikannya sebuah pegangan bahwa kau tidak
akan berkhianat nantinya. Walaupun kau bilang kau tidak pernah memperlakukan
yang lain seperti ini. Hanya aku. Entah aku harus percaya atau tidak, tapi
anehnya sesakit apapun itu, aku rasa kepercayaan itu masih ada, ya, meski
sedikit. Sama seperti air matamu yang sempat mampir di wajahmu karena aku. Aku
tidak tau harus percaya siapa, meski kau bilang kau tidak yakin pernah menangis
untuk perempuan selain mamahmu dan aku.
Aku dengar
suaramu bergetar menahan tangis saat pertengkaran hebat itu, jangan kau pikir
aku perempuan berhati batu. Percayalah, tangisku semakin menjadi waktu itu.
Bahkan aku akan lebih kuat melihat kau marah daripada harus melihat kau
menangis. Tapi maaf, itu bukan berarti aku akan melupakan semuanya. Butuh waktu
untuk membenahi segala sesuatu yang telah kau hancurkan. Bukankah butuh proses
yang panjang untuk menyatukan kembali sebuah guci yang telah hancur? Dan aku
yakin, dia tidak akan kembali seperti
semula dengan sempurna.
Dengan semua
penjelasan yang kau paparkan, yang cenderung terus meninggikanku, aku tidak mau
terus menari di atas awanmu. Biarkan aku berpijak di tanahku sendiri. Kalaupun
harus jatuh bukankah akan lebih tidak menyakitkan? Kemungkinan lain bahkan aku
hanya akan tersandung.
Yang harus
kau tau, di saat kau menolak untuk mengakhiri semuanya, aku tidak pernah sama
sekali menganggapmu sebagai seorang pengemis. Yang aku tau, kau melakukannya
agar tak ada penyesalan nantinya. Aku mengerti. Dan aku minta maaf soal itu.
Kalaupun kau
tak mau dan tak sanggup menyelesaikan semua ini, karena aku pun akan
memikirkannya seribu kali, hanya satu yang kutawarkan. Kita mulai dari nol.
Karena sesuatu yang tidak mungkin untuk melanjutkan pembangunan di saat
pondasinya telah runtuh. Puing-puingnya masih ada di sana, tapi kau pun tau,
limbah itu tidak lagi dapat digunakan untuk membagun pondasi baru. Kita harus
mencari material baru. Sama seperti kepercayaan dan keyakinanku akan
keseriusanmu yang telah kau hancurkan begitu saja, padahal kau bangun itu
dengan susah payah dan waktu yang tidak sebentar. Sekarang, kau harus
melakukannya kembali, meski aku yakin, ini akan lebih sulit dari sebelumnya.
Aku akan
mulai mengenalmu kembali. Bukan kamu yang dulu atau kamu yang kemarin. Tapi
kamu yang sekarang dan kamu yang yang akan datang.
"Aku jadikan mereka seperti perempuan yang aku mau. Bahkan aku tak
segan jika harus mengancam mereka. Tapi di saat aku lakukan hal yang sama
padamu, kau menolak dan marah padaku, itu jadi pukulan besar, aku tidak bisa
memaksamu untuk menjadi seperti apa yang aku inginkan. Kembali kau sadarkan
aku, aku tidak bisa selamanya seperti itu."
16 November 2012