Selasa, 18 September 2012

Kepingan Mungil Sang Mozaik



Gugusan indah itu akan terlihat pincang jika salah satu kepingan saja beranjak dari singgasananya. Lihat bagaimana dia pergi? Jika kau bisa rasakan ada sentuhan luka di dalam hati kepingan-kepingan yang lain. Dan di batas waktu yang seharusnya tidak mengikat, kepingan-kepingan yang lain akan menyusulnya pergi, kemudian mencari mozaik baru yang mereka mau. Tapi tidak dengan kepingan mungil ini, dia masih akan setia menunggu yang lainnya kembali. Tak peduli berapapun waktu yang akan terus membunuhnya pelan-pelan hingga ia terkikis dan habis. Buat apa dia terus mempedulikan yang lain disaat mereka tak mau bersama lagi? Mungkin ada satu ikatan, satu perasaan yang menahannya di mozaik cacat ini, dengan satu keyakinan bahwa mereka pasti kembali. Ya, mereka hanya bermain sebentar di luar, kemudian akan kembali ke rumah ini, dengan tawa yang selalu menggema di sudut ruang hampa.

Tapi bagaimana jika mereka tidak kembali? Apakah harus menyaksikan kepunahan diri, padahal kau masih bisa beranjak dan menemukan teman-teman yang belum pernah kau temui sebelumnya?
Kemudian rasa gundah mulai menyusup mengalir bersama pembuluh darah, menyerang otak dan membuatnya lumpuh. Hingga kau tak dapat berbuat apa-apa, padahal kau tau kau akan mati sia-sia di tempat itu dengan membawa satu pertanyaan.

Bangunlah, lari sekencang-kencangnya hingga kau tak lagi dapat mengingat apa yang ada di belakangmu. Kerikil tajam itu tidak akan membunuhmu, kau hanya butuh sedikit waktu saja untuk dapat melaluinya. Darah di kakimu akan mengering dan lukamu akan tertutup. Kemudian bekasnya akan mengingatkanmu tentang satu hal. Kekuatan. Karena hidup bukan tentang seberapa sakit luka yang kau rasakan, seberapa sering kau ditolak, atau seberapa getir mozaik yang kau pilih, tapi ini tentang satu kekuatan, keberanian bagaimana kau bisa lari dari keterpurukan yang justru akan menarikmu semakin dalam ke palung laut hitammu.

Yang harus selalu kau ingat, di saat kau tak mampu lagi menjadi kepingan sebuah mozaik, kau masih bisa menjadi bagian dari kolase. Mereka akan lebih menerimamu. Karena di saat yang lain mendambakan keseragaman, kau akan menemukan indahnya perbedaan.

Ini hanyalah tentang sebuah siklus. Seperti spora yang akan berubah menjadi fungi dan menciptakan spora baru.


"Hidup itu memang kejam, jadi biasakanlah dirimu."
>> Patrick Star <<

Sabtu, 01 September 2012

Tiga Puluh Tiga Kilometer


Memandang deburan ombak memecah fajar. Hamparan pasir berbisik menyembunyikan suatu rahasia, rahasia tentang aku, kau, dan mereka, yang sampai saat ini masih tersimpan di setiap butirannya. Matahari tersipu di balik bukit itu, masih enggan untuk menyapa kehadiranku di pantai ini. Suasana yang tak akan sering aku jumpai di sana. Pesona langit jingga bahkan mengalahkan kecantikan bidadari. Kupejamkan mata dan mencoba menghirup udara kebebasan, kebebasanku tentang banyak hal. Kebebasanku tentang melihat apa yang ingin aku lihat dan melakukan apa yang ingin aku lakukan, termasuk keberadaanku di sini yang tanpa ijin orang tuaku, bukan ijin tapi memang mereka tidak tau, haha, durhaka mungkin, tapi inilah bagaimana caraku untuk menyentuh kebebasan itu. Bukan waktunya memang, tapi,,, masa muda… hahaha *jitak*

Terbayar sudah peluh semalam. Pilu itu sudah aku lupakan, untuk sementara. Lucu juga mengingat bagaimana aku tidur semalam, hanya beralas kursi rotan dengan kulit menyentuh udara bebas di tepian pantai, tas beralih fungsi menjadi penyangga kepala. Tak bisa kubayangkan seandainya orang tuaku tau, entah apa jadinya diriku sekarang. Tapi nikmatilah masa mudamu nak, itu salah satu suara berontak dalam jiwa. Wajar atau tidak sepertinya bukan hal yang harus dipikirkan sehari semalam.

Tiga puluh tiga kilometer itu sudah aku lalui, ya, dengan segala pengorbanan memang. Tidak mudah mengayuh sepedamu hingga membawamu ke tempat ini, tempat sekarang aku berpijak, di atas ribuan butir kilau pasir.
Sama seperti perjalanan kita hingga sampai di tempat ini, tempat sekarang kita berpijak, di atas ribuan cerita dan canda tawa. Jika kau ingat, kita harus melewati jalan berbukit itu untuk sampai di sini. Tak peduli seberapa sering aku mengeluh, seberapa sering aku ingin berhenti, seberapa sering aku ingin kembali. Kau tetap pada pendirianmu untuk meyakinkanku bahwa aku akan menemukan diriku yang lain di sana. Menemukan senyum setelah tangis.
Kurasa kau benar, tak ada sesal setelah aku melewati tiga puluh tiga kilometer itu. Bahkan aku tidak hanya menemukan senyum itu, tapi senyummu juga :)

Hariku Bersamanya, Parangtritis 121111


12 November 2011