Kamis, 30 Agustus 2012

Yang Pertama



Angin dingin tak mampu lagi menghentikan setiap derap langkahku sekarang. Nyanyian burung di kala senja pun bahkan lebih indah dari harum embun pagi ini. Aku tidak peduli dengan detak jantungku yang terus berpacu kencang. Mungkin jika dihitung jeda langkahku hanya sepermili sekon. Tapi rasanya begitu lama waktu ini membunuh dalam gundah. Kupandangi pintu yang tertutup itu dengan peluh yang membasahi tubuh. Berharap akan menemukan suatu jalan di baliknya, jalan menuju padang rumput nan anggun dengan belaian lembut nafas bumi.
Andai pintu itu akan terbuka tanpa harus kuketuk, mungkin aku tak akan menyaksikan diriku termangu di sini, sendiri.
Dia sudah berdiri di sana, di balik pintu itu, dengan guratan pilu di wajahnya. Matanya sayu dan alisnya berpaut menahan air mata.
Kudekap erat tubuhnya, mencoba menyembunyikan wajah merahku karena tak mampu menahan tangis, hanya satu kata yang terucap "Maaf.."
Direngkuhnya wajahku dengan gerakan yang begitu lembut seperti tak mau ada sedikit pun goresan di sana, memandangku syahdu dengan pasti. Butiran air menyerupai kristal jatuh tepat di pelupuk matanya, kemudian mengalir menyusuri setiap lekuk wajah sebelum kuseka agar tak semakin dalam ia jatuh. Bibirku kaku membisu.
Tuhan, sedalam itukah luka yang kugoreskan hingga dia tak mampu lagi menahannya? Bahkan rasa malu pun tak mampu lagi membuatnya untuk tetap terlihat tegar.
Hati ini bagai teriris belati berkarat. Sungguh, tak ada kata lain yang mampu mewakili perasaanku saat ini selain "Maaf…"


"Kamu tau engga? Kamu adalah perempuan pertama yang bisa buat aku nangis selain mamah."


6 Maret 2012

Selasa, 28 Agustus 2012

Indomaret dalam Gerimis



Suara itu mengalun indah dalam basah. Lagu yang melantun karna patahnya satu prinsip, satu pendirian, berpadu dengan nyanyian alam. Ketukan butiran air yang jatuh dari langit dengan ritme yang menakjubkan berbisik "Kali ini kau kalah."
Cermin tidak akan berdusta, sejenak kuyakinkan diri bahwa kalah itu tidak menyakitkan. Ajaibnya memang tidak ada goresan sedikit pun di sana.
Wajahnya sedikit samar. Lampu Indomaret yang memancar di belakangnya pasti tak mampu membelokkan cahaya hingga menerangi wajahnya. Tak mengapa, senyumnya masih terlihat jelas dengan mata memandang gugup. Sebotol Pulpy semakin erat digenggamnya, mungkin ada perasaan yang bercampur baur di dalam hatinya yang membuatnya tidak tenang.
Detik-detik itu terbuang untuk beberapa senyuman dan sunyi dalam jeda.
Lucu memang, mengingat bagaimana dua orang duduk berhadapan dan saling memandang tanpa melontarkan satu pun kata.
Tak tahan dalam diam, satu permintaan terucap. Dengarkan.

Lelap haru di taman
Bias makna yang terpendam
Alas tonggak harapan

Belai indah matamu
Teman mimpi tanpa jemu
Biar terkadang semu

Untaian bunga canda
Tempat kau lepaskan tawa
Tenang hati terbaca

Kini tiba waktuku
Untuk puitiskan sayang
Untuk katakan cinta...

Jadikanlah aku pacarmu
'Kan kubingkai s'lalu indahmu
Jadikanlah aku pacarmu
Iringilah kisahku...

Sesederhana itu mungkin. Tapi mampu menciptakan senyuman dengan satu perasaan aneh. Yang kurasa, sejuta tawaku saat ini pun tak mampu menggantikannya.
"Iya."
Indomaret dalam gerimis menjadi saksi bisu awal rajutan cerita indah romantisme dua insan.


28 September 2011