Angin dingin tak mampu lagi menghentikan setiap derap langkahku sekarang. Nyanyian burung di kala senja pun bahkan lebih indah dari harum embun pagi ini. Aku tidak peduli dengan detak jantungku yang terus berpacu kencang. Mungkin jika dihitung jeda langkahku hanya sepermili sekon. Tapi rasanya begitu lama waktu ini membunuh dalam gundah. Kupandangi pintu yang tertutup itu dengan peluh yang membasahi tubuh. Berharap akan menemukan suatu jalan di baliknya, jalan menuju padang rumput nan anggun dengan belaian lembut nafas bumi.
Andai pintu itu akan
terbuka tanpa harus kuketuk, mungkin aku tak akan menyaksikan diriku termangu
di sini, sendiri.
Dia sudah berdiri di
sana, di balik pintu itu, dengan guratan pilu di wajahnya. Matanya sayu dan
alisnya berpaut menahan air mata.
Kudekap erat
tubuhnya, mencoba menyembunyikan wajah merahku karena tak mampu menahan tangis,
hanya satu kata yang terucap "Maaf.."
Direngkuhnya wajahku
dengan gerakan yang begitu lembut seperti tak mau ada sedikit pun goresan di
sana, memandangku syahdu dengan pasti. Butiran air menyerupai kristal jatuh
tepat di pelupuk matanya, kemudian mengalir menyusuri setiap lekuk wajah
sebelum kuseka agar tak semakin dalam ia jatuh. Bibirku kaku membisu.
Tuhan, sedalam
itukah luka yang kugoreskan hingga dia tak mampu lagi menahannya? Bahkan rasa
malu pun tak mampu lagi membuatnya untuk tetap terlihat tegar.
Hati ini bagai
teriris belati berkarat. Sungguh, tak ada kata lain yang mampu mewakili
perasaanku saat ini selain "Maaf…"
"Kamu tau
engga? Kamu adalah perempuan pertama yang bisa buat aku nangis selain
mamah."
6
Maret 2012