Senin, 31 Desember 2012

5 cm The Movie Quotes


"Mimpi-mimpi kamu, cita-cita kamu, keyakinan kamu, apa yang kamu mau kejar, biarkan ia menggantung, mengambang 5 centimeter di depan kening kamu. Jadi dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu. Dan kamu bawa mimpi dan keyakinan kamu itu setiap hari, kamu lihat setiap hari, dan percaya bahwa kamu bisa…."

"Dan kamu akan selalu dikenang sebagai seorang yang masih punya mimpi dan keyakinan, bukan cuma seonggok daging yang hanya punya nama. Kamu akan dikenang sebagai seorang yang percaya pada kekuatan mimpi dan mengejarnya, bukan seorang pemimpi saja, bukan orang biasa-biasa saja tanpa tujuan, mengikuti arus dan kalah oleh keadaan. Tapi seorang yang selalu percaya akan keajaiban mimpi keajaiban cita-cita, dan keajaiban keyakinan manusia yang tidak terkalkulasikan dengan angka berapa pun… Dan kamu nggak perlu bukti apakah mimpi-mimpi itu akan terwujud nantinya karena kamu hanya harus mempercayainya."

"Kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya,
mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya,
leher yang akan lebih sering melihat ke atas,
lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja
hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya,
serta mulut yang akan selalu berdoa."


"Sebuah cinta memang harus diungkapkan karena tidak pernah ada cinta yang disembunyikan, kecuali oleh seseorang yang terlalu mencintai dirinya sendiri."

Senin, 03 Desember 2012

Tentang Lingkaran




Entah harus mulai dari sisi yang mana. Semuanya sama. Ah, rumitnya lingkaran. Apalagi di dalamnya tersimpan carut marut benang-benang yang kusut. Lantas? Bukan. Bukan itu yang harus kusesali, benang-benang itu aku sendiri yang buat. Begitupun dengan lingkarannya. Mungkin awalnya hanya sebuah titik, kemudian bertransformasi menjadi garis lurus, segitiga, bujur sangkar, dan semakin mengembang membentuk seribu sudut.

Tak mengerti mengenai definisi waktu, maka hanya berdiam diri. Terpesona dan tenggelam dengan pentas sang langit. Itu hanya sebuah pelangi dan awan kelam. Tapi aku juga tak mau bermimpi untuk menyaksikan aurora. Terlalu indah dan beresiko. Oke, pengecut. Lalu bagaimana dengan orang yang melakukan suatu hal tanpa berpikir dahulu? Akan kau sebut apa orang seperti itu? Pemberani? Kurasa tidak. Bodoh. Terlalu sombong. Dunia dalam genggaman itu hal yang mustahil, sadarlah, hanya Tuhan yang dapat melakukannya.

Coklat itu manis dan enak. Tapi kenapa tidak semua orang suka? Mungkin tidak semua coklat sama, atau lebih tepatnya tidak semua lidah sama. Apa yang kurasa belum tentu sama dengan apa yang kau rasa. Suka atau tidak suka itu urusan personal. Termasuk rasa benci. Tapi aku tak mau terus bergelut dengan sesuatu yang membuatku sakit. Berharap benci itu akan terus berdeformasi dan… hilang. Tapi setiap kelebat memori itu muncul, benci itu kembali ke keadaan batas plastis dan bergerak mundur. Tenggelam kemudian muncul, meredup kemudian terang, memudar kemudian jelas. Mungkin juga terlalu getir rasa coklat yang ia beri hingga sang waktu pun tak kunjung menghapusnya meski sangat ingin.

Semua yang terlihat di depanku tidak selalu sama dengan apa yang ada di belakangku. Terlalu hanyut dalam suasana syahdu, hingga lupa bahwa ada yang menodongkan pistol di belakangku. Saat waktunya tiba, "Duar!"
Bisa saja orang yang ku sayang yang melakukannya. Tidak, aku tidak berbohong. Saat kutanya dia kenapa melakukan hal itu, "Untuk menyelamatkan kita." Jawabnya.
Kita? Kurasa tidak, kamu. Terlalu egois rasanya jika harus mengatasnamakan 'kita' dalam peperangan yang kamu buat sendiri. Kenapa harus aku? Kenapa bukan dia atau kamu sendiri? Untuk mendapatkan sesuatu memang harus ada yang dikorbankan. Tapi sadarkah kamu bahwa akulah yang kau jadikan tumbal? Baik, itu caramu, dan aku,,, kecewa.

Aku benci jika harus mengatakan ini. Tapi jangan pernah bertanya kenapa aku benci dia. Tidak, aku tidak jahat dengan semua yang telah kulakukan setahun lalu. Tapi kalian, permainan yang telah kalian ciptakan, bukan, dia, bukan, kamu, aaah, bukan, kalian berdua. Ya, kalian berdua. Cukup, seberapapun aku tidak ingin membahasnya, mereka akan terus berontak ingin keluar dalam pikiran melalui tarian jemari. Jadi jangan salahkan aku.

Kau pikir Aeolian akan terbentuk dengan sendirinya? Yang harus kau ingat ada angin yang menggerakan mereka. Benci ini tidak akan terbentuk jika tidak ada partikel yang menggerakkannya. Bedanya, ada kadar tersendiri untuk dia, yang jelas komposisinya lebih banyak. Sebenarnya dia sendiri yang menambahkan dan meramunya. Hiii…. bak nenek sihir yah?

Pembicaraannya tak hanya mengarah pada satu titik, sudah kubilang tadi, benang-benangnya terlalu kusut, bisa saja kan ketika berada di satu jalur benang, tiba-tiba tanpa sadar akan berpindah ke benang lain? Dan parahnya lagi, aku tersadar, aku masih dalam lingkaran, tak bisa keluar dan lumpuh, berat jenis sang waktu pun tidak lebih besar dari diriku, hingga akhirnya aku tenggelam ditinggalnya mengalir.


What is this thing called "being alive"?
Is it to fight?
Or to stay out of the fights?
(signpost)

Senin, 19 November 2012

Bangun Kembali Pondasiku


Semuanya gelap sekarang. Lilin-lilin kecil yang menjadi lentera kini sudah padam, ya, semuanya. Bahkan aku tidak tau lagi siapa dirimu. Kau ingat? Padahal kemarin tawa itu masih ada. Secepat itu ia berubah menjadi air mata. Aku benar-benar tidak tau apa yang kurasakan sekarang. Yang jelas aku masih merasa cukup bodoh.

Walaupun kau bilang kata-kata itu keluar saat kau emosi karena tak ada jawaban lain yang mampu menghentikan dia, aku tetap tidak terima. Itu sama saja kau merendahkanku di hadapan orang lain.

Kau memang sudah kenalkan aku pada mamahmu, mendatangi rumahku untuk menemui kedua orang tuaku, atau mengajakku untuk bertemu paman bibimu, adik-adik dan kakakmu, bahkan sepupumu. Tapi aku tak mau menjadikannya sebuah pegangan bahwa kau tidak akan berkhianat nantinya. Walaupun kau bilang kau tidak pernah memperlakukan yang lain seperti ini. Hanya aku. Entah aku harus percaya atau tidak, tapi anehnya sesakit apapun itu, aku rasa kepercayaan itu masih ada, ya, meski sedikit. Sama seperti air matamu yang sempat mampir di wajahmu karena aku. Aku tidak tau harus percaya siapa, meski kau bilang kau tidak yakin pernah menangis untuk perempuan selain mamahmu dan aku.

Aku dengar suaramu bergetar menahan tangis saat pertengkaran hebat itu, jangan kau pikir aku perempuan berhati batu. Percayalah, tangisku semakin menjadi waktu itu. Bahkan aku akan lebih kuat melihat kau marah daripada harus melihat kau menangis. Tapi maaf, itu bukan berarti aku akan melupakan semuanya. Butuh waktu untuk membenahi segala sesuatu yang telah kau hancurkan. Bukankah butuh proses yang panjang untuk menyatukan kembali sebuah guci yang telah hancur? Dan aku yakin, dia  tidak akan kembali seperti semula dengan sempurna.

Dengan semua penjelasan yang kau paparkan, yang cenderung terus meninggikanku, aku tidak mau terus menari di atas awanmu. Biarkan aku berpijak di tanahku sendiri. Kalaupun harus jatuh bukankah akan lebih tidak menyakitkan? Kemungkinan lain bahkan aku hanya akan tersandung.

Yang harus kau tau, di saat kau menolak untuk mengakhiri semuanya, aku tidak pernah sama sekali menganggapmu sebagai seorang pengemis. Yang aku tau, kau melakukannya agar tak ada penyesalan nantinya. Aku mengerti. Dan aku minta maaf soal itu.

Kalaupun kau tak mau dan tak sanggup menyelesaikan semua ini, karena aku pun akan memikirkannya seribu kali, hanya satu yang kutawarkan. Kita mulai dari nol. Karena sesuatu yang tidak mungkin untuk melanjutkan pembangunan di saat pondasinya telah runtuh. Puing-puingnya masih ada di sana, tapi kau pun tau, limbah itu tidak lagi dapat digunakan untuk membagun pondasi baru. Kita harus mencari material baru. Sama seperti kepercayaan dan keyakinanku akan keseriusanmu yang telah kau hancurkan begitu saja, padahal kau bangun itu dengan susah payah dan waktu yang tidak sebentar. Sekarang, kau harus melakukannya kembali, meski aku yakin, ini akan lebih sulit dari sebelumnya.

Aku akan mulai mengenalmu kembali. Bukan kamu yang dulu atau kamu yang kemarin. Tapi kamu yang sekarang dan kamu yang yang akan datang.



"Aku jadikan mereka seperti perempuan yang aku mau. Bahkan aku tak segan jika harus mengancam mereka. Tapi di saat aku lakukan hal yang sama padamu, kau menolak dan marah padaku, itu jadi pukulan besar, aku tidak bisa memaksamu untuk menjadi seperti apa yang aku inginkan. Kembali kau sadarkan aku, aku tidak bisa selamanya seperti itu."

16 November 2012


Selasa, 18 September 2012

Kepingan Mungil Sang Mozaik



Gugusan indah itu akan terlihat pincang jika salah satu kepingan saja beranjak dari singgasananya. Lihat bagaimana dia pergi? Jika kau bisa rasakan ada sentuhan luka di dalam hati kepingan-kepingan yang lain. Dan di batas waktu yang seharusnya tidak mengikat, kepingan-kepingan yang lain akan menyusulnya pergi, kemudian mencari mozaik baru yang mereka mau. Tapi tidak dengan kepingan mungil ini, dia masih akan setia menunggu yang lainnya kembali. Tak peduli berapapun waktu yang akan terus membunuhnya pelan-pelan hingga ia terkikis dan habis. Buat apa dia terus mempedulikan yang lain disaat mereka tak mau bersama lagi? Mungkin ada satu ikatan, satu perasaan yang menahannya di mozaik cacat ini, dengan satu keyakinan bahwa mereka pasti kembali. Ya, mereka hanya bermain sebentar di luar, kemudian akan kembali ke rumah ini, dengan tawa yang selalu menggema di sudut ruang hampa.

Tapi bagaimana jika mereka tidak kembali? Apakah harus menyaksikan kepunahan diri, padahal kau masih bisa beranjak dan menemukan teman-teman yang belum pernah kau temui sebelumnya?
Kemudian rasa gundah mulai menyusup mengalir bersama pembuluh darah, menyerang otak dan membuatnya lumpuh. Hingga kau tak dapat berbuat apa-apa, padahal kau tau kau akan mati sia-sia di tempat itu dengan membawa satu pertanyaan.

Bangunlah, lari sekencang-kencangnya hingga kau tak lagi dapat mengingat apa yang ada di belakangmu. Kerikil tajam itu tidak akan membunuhmu, kau hanya butuh sedikit waktu saja untuk dapat melaluinya. Darah di kakimu akan mengering dan lukamu akan tertutup. Kemudian bekasnya akan mengingatkanmu tentang satu hal. Kekuatan. Karena hidup bukan tentang seberapa sakit luka yang kau rasakan, seberapa sering kau ditolak, atau seberapa getir mozaik yang kau pilih, tapi ini tentang satu kekuatan, keberanian bagaimana kau bisa lari dari keterpurukan yang justru akan menarikmu semakin dalam ke palung laut hitammu.

Yang harus selalu kau ingat, di saat kau tak mampu lagi menjadi kepingan sebuah mozaik, kau masih bisa menjadi bagian dari kolase. Mereka akan lebih menerimamu. Karena di saat yang lain mendambakan keseragaman, kau akan menemukan indahnya perbedaan.

Ini hanyalah tentang sebuah siklus. Seperti spora yang akan berubah menjadi fungi dan menciptakan spora baru.


"Hidup itu memang kejam, jadi biasakanlah dirimu."
>> Patrick Star <<

Sabtu, 01 September 2012

Tiga Puluh Tiga Kilometer


Memandang deburan ombak memecah fajar. Hamparan pasir berbisik menyembunyikan suatu rahasia, rahasia tentang aku, kau, dan mereka, yang sampai saat ini masih tersimpan di setiap butirannya. Matahari tersipu di balik bukit itu, masih enggan untuk menyapa kehadiranku di pantai ini. Suasana yang tak akan sering aku jumpai di sana. Pesona langit jingga bahkan mengalahkan kecantikan bidadari. Kupejamkan mata dan mencoba menghirup udara kebebasan, kebebasanku tentang banyak hal. Kebebasanku tentang melihat apa yang ingin aku lihat dan melakukan apa yang ingin aku lakukan, termasuk keberadaanku di sini yang tanpa ijin orang tuaku, bukan ijin tapi memang mereka tidak tau, haha, durhaka mungkin, tapi inilah bagaimana caraku untuk menyentuh kebebasan itu. Bukan waktunya memang, tapi,,, masa muda… hahaha *jitak*

Terbayar sudah peluh semalam. Pilu itu sudah aku lupakan, untuk sementara. Lucu juga mengingat bagaimana aku tidur semalam, hanya beralas kursi rotan dengan kulit menyentuh udara bebas di tepian pantai, tas beralih fungsi menjadi penyangga kepala. Tak bisa kubayangkan seandainya orang tuaku tau, entah apa jadinya diriku sekarang. Tapi nikmatilah masa mudamu nak, itu salah satu suara berontak dalam jiwa. Wajar atau tidak sepertinya bukan hal yang harus dipikirkan sehari semalam.

Tiga puluh tiga kilometer itu sudah aku lalui, ya, dengan segala pengorbanan memang. Tidak mudah mengayuh sepedamu hingga membawamu ke tempat ini, tempat sekarang aku berpijak, di atas ribuan butir kilau pasir.
Sama seperti perjalanan kita hingga sampai di tempat ini, tempat sekarang kita berpijak, di atas ribuan cerita dan canda tawa. Jika kau ingat, kita harus melewati jalan berbukit itu untuk sampai di sini. Tak peduli seberapa sering aku mengeluh, seberapa sering aku ingin berhenti, seberapa sering aku ingin kembali. Kau tetap pada pendirianmu untuk meyakinkanku bahwa aku akan menemukan diriku yang lain di sana. Menemukan senyum setelah tangis.
Kurasa kau benar, tak ada sesal setelah aku melewati tiga puluh tiga kilometer itu. Bahkan aku tidak hanya menemukan senyum itu, tapi senyummu juga :)

Hariku Bersamanya, Parangtritis 121111


12 November 2011

Kamis, 30 Agustus 2012

Yang Pertama



Angin dingin tak mampu lagi menghentikan setiap derap langkahku sekarang. Nyanyian burung di kala senja pun bahkan lebih indah dari harum embun pagi ini. Aku tidak peduli dengan detak jantungku yang terus berpacu kencang. Mungkin jika dihitung jeda langkahku hanya sepermili sekon. Tapi rasanya begitu lama waktu ini membunuh dalam gundah. Kupandangi pintu yang tertutup itu dengan peluh yang membasahi tubuh. Berharap akan menemukan suatu jalan di baliknya, jalan menuju padang rumput nan anggun dengan belaian lembut nafas bumi.
Andai pintu itu akan terbuka tanpa harus kuketuk, mungkin aku tak akan menyaksikan diriku termangu di sini, sendiri.
Dia sudah berdiri di sana, di balik pintu itu, dengan guratan pilu di wajahnya. Matanya sayu dan alisnya berpaut menahan air mata.
Kudekap erat tubuhnya, mencoba menyembunyikan wajah merahku karena tak mampu menahan tangis, hanya satu kata yang terucap "Maaf.."
Direngkuhnya wajahku dengan gerakan yang begitu lembut seperti tak mau ada sedikit pun goresan di sana, memandangku syahdu dengan pasti. Butiran air menyerupai kristal jatuh tepat di pelupuk matanya, kemudian mengalir menyusuri setiap lekuk wajah sebelum kuseka agar tak semakin dalam ia jatuh. Bibirku kaku membisu.
Tuhan, sedalam itukah luka yang kugoreskan hingga dia tak mampu lagi menahannya? Bahkan rasa malu pun tak mampu lagi membuatnya untuk tetap terlihat tegar.
Hati ini bagai teriris belati berkarat. Sungguh, tak ada kata lain yang mampu mewakili perasaanku saat ini selain "Maaf…"


"Kamu tau engga? Kamu adalah perempuan pertama yang bisa buat aku nangis selain mamah."


6 Maret 2012

Selasa, 28 Agustus 2012

Indomaret dalam Gerimis



Suara itu mengalun indah dalam basah. Lagu yang melantun karna patahnya satu prinsip, satu pendirian, berpadu dengan nyanyian alam. Ketukan butiran air yang jatuh dari langit dengan ritme yang menakjubkan berbisik "Kali ini kau kalah."
Cermin tidak akan berdusta, sejenak kuyakinkan diri bahwa kalah itu tidak menyakitkan. Ajaibnya memang tidak ada goresan sedikit pun di sana.
Wajahnya sedikit samar. Lampu Indomaret yang memancar di belakangnya pasti tak mampu membelokkan cahaya hingga menerangi wajahnya. Tak mengapa, senyumnya masih terlihat jelas dengan mata memandang gugup. Sebotol Pulpy semakin erat digenggamnya, mungkin ada perasaan yang bercampur baur di dalam hatinya yang membuatnya tidak tenang.
Detik-detik itu terbuang untuk beberapa senyuman dan sunyi dalam jeda.
Lucu memang, mengingat bagaimana dua orang duduk berhadapan dan saling memandang tanpa melontarkan satu pun kata.
Tak tahan dalam diam, satu permintaan terucap. Dengarkan.

Lelap haru di taman
Bias makna yang terpendam
Alas tonggak harapan

Belai indah matamu
Teman mimpi tanpa jemu
Biar terkadang semu

Untaian bunga canda
Tempat kau lepaskan tawa
Tenang hati terbaca

Kini tiba waktuku
Untuk puitiskan sayang
Untuk katakan cinta...

Jadikanlah aku pacarmu
'Kan kubingkai s'lalu indahmu
Jadikanlah aku pacarmu
Iringilah kisahku...

Sesederhana itu mungkin. Tapi mampu menciptakan senyuman dengan satu perasaan aneh. Yang kurasa, sejuta tawaku saat ini pun tak mampu menggantikannya.
"Iya."
Indomaret dalam gerimis menjadi saksi bisu awal rajutan cerita indah romantisme dua insan.


28 September 2011