Entah harus mulai dari sisi yang mana. Semuanya sama. Ah, rumitnya lingkaran. Apalagi di dalamnya tersimpan carut marut benang-benang yang kusut. Lantas? Bukan. Bukan itu yang harus kusesali, benang-benang itu aku sendiri yang buat. Begitupun dengan lingkarannya. Mungkin awalnya hanya sebuah titik, kemudian bertransformasi menjadi garis lurus, segitiga, bujur sangkar, dan semakin mengembang membentuk seribu sudut.
Tak mengerti
mengenai definisi waktu, maka hanya berdiam diri. Terpesona dan tenggelam
dengan pentas sang langit. Itu hanya sebuah pelangi dan awan kelam. Tapi aku
juga tak mau bermimpi untuk menyaksikan aurora. Terlalu indah dan beresiko.
Oke, pengecut. Lalu bagaimana dengan orang yang melakukan suatu hal tanpa
berpikir dahulu? Akan kau sebut apa orang seperti itu? Pemberani? Kurasa tidak.
Bodoh. Terlalu sombong. Dunia dalam genggaman itu hal yang mustahil, sadarlah,
hanya Tuhan yang dapat melakukannya.
Coklat itu
manis dan enak. Tapi kenapa tidak semua orang suka? Mungkin tidak semua coklat
sama, atau lebih tepatnya tidak semua lidah sama. Apa yang kurasa belum tentu
sama dengan apa yang kau rasa. Suka atau tidak suka itu urusan personal.
Termasuk rasa benci. Tapi aku tak mau terus bergelut dengan sesuatu yang
membuatku sakit. Berharap benci itu akan terus berdeformasi dan… hilang. Tapi
setiap kelebat memori itu muncul, benci itu kembali ke keadaan batas plastis
dan bergerak mundur. Tenggelam kemudian muncul, meredup kemudian terang,
memudar kemudian jelas. Mungkin juga terlalu getir rasa coklat yang ia beri
hingga sang waktu pun tak kunjung menghapusnya meski sangat ingin.
Semua yang
terlihat di depanku tidak selalu sama dengan apa yang ada di belakangku.
Terlalu hanyut dalam suasana syahdu, hingga lupa bahwa ada yang menodongkan
pistol di belakangku. Saat waktunya tiba, "Duar!"
Bisa saja
orang yang ku sayang yang melakukannya. Tidak, aku tidak berbohong. Saat
kutanya dia kenapa melakukan hal itu, "Untuk menyelamatkan kita."
Jawabnya.
Kita? Kurasa
tidak, kamu. Terlalu egois rasanya jika harus mengatasnamakan 'kita' dalam
peperangan yang kamu buat sendiri. Kenapa harus aku? Kenapa bukan dia atau kamu
sendiri? Untuk mendapatkan sesuatu memang harus ada yang dikorbankan. Tapi
sadarkah kamu bahwa akulah yang kau jadikan tumbal? Baik, itu caramu, dan
aku,,, kecewa.
Aku benci
jika harus mengatakan ini. Tapi jangan pernah bertanya kenapa aku benci dia.
Tidak, aku tidak jahat dengan semua yang telah kulakukan setahun lalu. Tapi
kalian, permainan yang telah kalian ciptakan, bukan, dia, bukan, kamu, aaah,
bukan, kalian berdua. Ya, kalian berdua. Cukup, seberapapun aku tidak ingin
membahasnya, mereka akan terus berontak ingin keluar dalam pikiran melalui
tarian jemari. Jadi jangan salahkan aku.
Kau pikir
Aeolian akan terbentuk dengan sendirinya? Yang harus kau ingat ada angin yang
menggerakan mereka. Benci ini tidak akan terbentuk jika tidak ada partikel yang
menggerakkannya. Bedanya, ada kadar tersendiri untuk dia, yang jelas
komposisinya lebih banyak. Sebenarnya dia sendiri yang menambahkan dan
meramunya. Hiii…. bak nenek sihir yah?
Pembicaraannya
tak hanya mengarah pada satu titik, sudah kubilang tadi, benang-benangnya
terlalu kusut, bisa saja kan ketika berada di satu jalur benang, tiba-tiba
tanpa sadar akan berpindah ke benang lain? Dan parahnya lagi, aku tersadar, aku
masih dalam lingkaran, tak bisa keluar dan lumpuh, berat jenis sang waktu pun
tidak lebih besar dari diriku, hingga akhirnya aku tenggelam ditinggalnya
mengalir.
What is this thing called "being alive"?
Is it to fight?
Or to stay out of the fights?
(signpost)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar